My Little Zero Waste Party



“Will you marry me, Sacha?” Itu adalah kalimat yang kunanti akan terucap dari bibir Ben, si-pacar-delapan-tahunku. Tapi nyatanya, sampai sekarang belum pernah sekalipun aku mendengarnya. Yes!Aku kalah sama Baby. Dia baru kenal Will sebentar via online dating, eh sekarang udah mau married. Sedangkan aku, kenal baik-baik di dunia nyata, tapi kisah cintanya gini-gini aja. Aku merenung sambil melipat-lipat sticky note layaknya origami. Aku tahu, di dalamnya tertulis alamat website online dating pemberian Baby. Namun buatku, mendaftar online dating itu sama seperti menceburkan diri ke kolam hiu. Kita kan, tidak tahu seperti apa pria-pria yang ada di sana. “Buat jaga-jaga aja, kalau kamu menyerah menantinya,” goda Baby.


Itu sinopsis yang membuatku pertama kali jadi jatuh hati sama Bride Wannabe-nya Christina Juzwar. Udah sering liat bukunya, sih, tapi baca sinopsisnya belum pernah. Dan begitu dibaca, duh, kok kayaknya langsung jatuh hati sama buku itu dan pengen langsung memboyong buku itu.

Well, siapa, sih, yang nggak mau jadi pengantin? Aku juga bride wannabe, loh. Banyak orang bertanya-tanya, kenapa sampai usia quarter life gini aku belum juga nikah. Banyak alasannya. Tapi itu kan pilihan hidupku, nggak seharusnya mereka ribut, ikut campur, sampai nyinyir. Mereka nggak tau kali kalo banyak yang harus dipikirin sebelum dan sesudah menikah. Bukan sekedar perubahan status. Banyak teman-temanku yang setelah menikah malah nitipin anaknya ke ortu. Ada juga yang masih tinggal sama ortu plus minta makan di sana. Ini hanya sekali seumur hidup. Pikirkan matang-matang sebelum melangkah. Aku nggak mau gitu, dong. This is my opinion, loh. Pembaca boleh aja nggak setuju.


Mereka mungkin nggak tau kalo aku bahkan sudah merencanakan pernikahanku lengkap dan aku simpan dalam satu folder tersendiri di laptopku. Sebuah pernikahan dengan pesta kecil yang elegan dan zero waste adalah impianku. Ya, aku ingin semuanya sempurna. Bukan masalah besarnya pesta, tapi sempurna dalam arti luas. Apalagi aku anak pertama dalam keluarga yang belum pernah sekalipun menggelar hajatan baik besar ataupun kecil kecuali syukuran waktu pendirian rumah baru. -___-

Mempelai Pria
Ini kan syarat utama sebuah pernikahan dapat berlangsung. Coba kalo nggak ada calon pengantinnya? Gimana? Haha. Calon imamku tentu saja harus mampu membimbingku juga keluarga kami kelak. Juga bijak dalam setiap tindakannya. Baik dari sisi agama maupun kepribadiannya. Indikator pertama adalah selalu sholat di masjid tepat waktu. Entah. Bagiku itu harus. Mengenai ilmu dan pemahamannya tentang agama dan ilmu-ilmu lainnya, itu bisa kita pelajari bersama. Yang penting kemauan, semangat, dan niat tulusnya. 

Lagian sekarang, kan, udah banyak sekolah-sekolah pernikahan hingga parenting kalo masih juga ada yang ngeributin masalah dangkal-dalemnya keilmuan seseorang, apalagi diukur dari tingkat kesarjanaan, kemasteran, kedoktoran, dan sebagainya terus memutuskan bahwa seseorang itu nggak layak dijadikan pendamping talk to my hand aja, deh. Ada banyak hal yang mungkin bisa jadi pertimbangan. Setelah menikah juga masih bisa, kok, sekolah formal.

Budget
Ini penting banget. Harus ada transparansi di antara pihak calon suami dan aku, juga keluarga kami. Jangan sampai hal-hal semacam ini menimbulkan saling enggak enak di kemudian hari. Bahkan menyulut pertengkaran. Nggak lucu banget, deh. So, ini harus berdasarkan kesepakatan. 

Lokasi
Utamanya, akad nikah dilakukan di lingkungan keluargaku. Entah di masjid depan rumah, atau di rumah aja. Kecuali kalo pihak laki-laki mau download mantu di kampungnya itu masalah lain lagi. Demikian juga dengan resepsi. Aku nggak ingin mengadakan resepsi di gedung. Karena keluargaku tinggal di kampung. Masak iya mau jauh-jauh ke kecamatan untuk resepsi doang. Ntar tetangga malah pada nggak dateng. Salah satu tujuan dari resepsi, kan, mengabarkan berita baik. Agar kelak nggak ada lagi fitnah kalo tiba-tiba aku nggendong anak dengan perut buncit jalan di pasar. Selain itu, resepsi menurut keluargaku adalah sarana silaturahmi. Bener juga, sih.

Undangan
Undangan nggak bisa disepelekan. Ini kadang menyangkut perasaan tamu kita juga. Aku harus benar-benar membuat list teman-teman yang akan kuundang. Aku akan minta pendapat teman lainnya siapa tau aja ada yang kurang. Selanjutnya masalah finishing bisa dikerjain sama orang yang kita serahi tanggungjawab untuk meng-handle ini. Orang tua dan pihak laki-laki juga harus nge-fix-in undangan dari jauh-jauh hari. Takut ada yang kelewat. Nggak enak lho rasanya dilupain.


Sumber: pinterest
 Yang juga harus dipikirin adalah mengenai konsep undangannya. Mau kayak gimana. Kalo bisa, sih, undangan nggak sekedar mewah dan bagus aja. Tapi juga punya nilai guna. Aku pengen undangannya itu berbentuk sesuatu yang bisa dipakai ulang oleh orang yang kita undang. Bukan sekedar kalender selembar, itu mah masih bisa dibuang-buang. Tapi rencana ini membutuhkan budget yang nggak sedikit.

Pilihan lain adalah menggunakan material kertas daur ulang. Biasanya bahan ini membuat konsep undangan terlihat unik. Namun lebih dari itu juga adapesan cinta lingkungan di dalamnya. Nggak usah lagi pakai plastik luaran. Itu mah sama aja bohong pakai kertas daur ulang. Cukup kasih tali dari semacam tali rami, pandan, agel, atau semacamnya yang diikat mirip pita. Unik banget, kan?!
Sumber: http://www.confettidaydreams.com

Berdasarkan obrolan dengan beberapa kawan dan menyadari bahwa teknologi kini sudah maju, undangan untuk kawan-kawan yang jauh mah di-web aja. Gimana caranya supaya tetep menarik dan terkesan spesial buat orang yang kita undang. Email juga bisa jadi bakal repot banget tuh nggak kalah daripada kurir buat nyampein undangan.


Mengenai kontennya, aku nggak ingin pakai gelar kesarjanaan di dalamnya. Apa banget, sih. Itu undangan, bukan lamaran pekerjaan. Jadi cukup namanya siapa anaknya siapa aja. Cukup. Nggak perlu deh berbangga diri dengan sederet gelar terpampang di sana.

Tentang foto, aku sebenarnya kurang suka majang foto. Bukan hanya karena aku kurang fotogenik, hihi... tapi kayaknya kurang pas aja. Kalo emang takut orang yang diundang lupa yang mana aku, ya cukup di crop mukanya aja trus dibikin kartun deh. Yang paling penting alamat nggak boleh sampe salah. Kalo perlu pake peta, walaupun trayek angkot nggak dimasukin situ. Orang nggak akan nyasar dan numpang tanya dengan nyebutin gelar dan nunjukin foto, kan?


Katering
Karena tinggal di desa, kami sebenarnya nggak butuh katering, sih. Kami biasa 'memanfaatkan' tenaga para tetangga dan saudara. Itu hal lumrah di kampung kami. Ya, sih, kami kampungan, tapi kami masih mempertahankan ciri khas Bangsa Indonesia. Ramah tamah dan gotong royong. Ceileeee... padahal ngirit.

Di kampung kami, ada kebiasaan untuk nganter makanan ke tetangga. Yang ini aku pengen pakai besek dari bambu, yang dibungkus dengan tote bag/goodie bag yang di tulisin semacam "save the date", "you are invited to...", yang bisa sekalian jadi pengingat, undangan, juga dipakai belanja ke pasar. Jadi yang udah dapet ini nggak usah lagi dikasih undangan.

Mengenai menu makanan, aku sih nggak tau ya biasanya apa. Cuma yang pasti aku nggak akan mengizinkan di pestaku ada air mineral gelas. Selain nyampah, itu artinya mendukung komersialisasi air. Lha wong tinggal di kampung, banyak sumur dengan air melimpah masak air minum aja harus beli. Ngerebus apa susahnya. Nanti kita sewa orang untuk ngerebus air. Nambah lapangan kerja juga, kan?! Sekalian juga suruh nyuci gelas, masak iya nyuci gelas aja males.

Begitu juga dengan piring dan mangkok untuk jajanan di pondokan. Itu pakai aja mangkok kaca beneran. Reusable dan sehat. Jadi nggak pake wadah kertas atau plastik. Yang penting nyucinya bersih aja, sih.

Dekorasi
Aku nggak mau dekorasi yang terlalu hebring. Yang simpel elegan gitu aja. Less is most, man! Lagian bisa ngirit juga (again?). Kalo bisa sih pakai hiasan bunga-bunga segar yang fresh dan wangi. Jadi enggak nyampah dengan bunga plastik. Meskipun biasanya di tukang sewa juga udah disediain bunga-bunga plastik. Pengennya sih garden party tapi takut ujan juga sih. Aku nggak mau pakai pawang. Apalagi pake acara naro sesaji di perempatan. Kembali lagi kepada makna pernikahan, gaesss.

Aku nggak mau pake sound system yang heboh kayak orang-orang. Cukup setengah dari jumlah sound system mereka aja. Ngganggu tetangga. Aku ngaca sama diri juga, sih. Aku suka misuh-misuh kalo ada yang hajatan tapi berisik dan bikin harus teriak-teriak buat ngobrol.

Make Up dan Wedding Dress
Selain fitting baju, aku juga harus fitting riasan. Mana tau tukang riasnya lebay. Nanti aku dibuatnya jadi norak-norak bergembira. Nggak lucu banget kalo tiba-tiba aku pundung pas hari pernikahanku gara-gara riasan. Aku juga nggak mau pake kerudung yang dililit-lilit. Apalagi kerudung yang cuma mirip penutup muka yang terbuat dari jaring-jaring saking tipisnya. Aku tetep mau kerudung yang kupakai menutup dada. Apalagi kalo pake kebaya. Duh, itu boobs bakal kemana-mana kalo nggak ditutup sempurna. Plus aku nggak mau pake 'punuk unta'. Udah, sederhana aja.
Sumber: http://souvenirdantas.blogspot.com
Gambar ini mah buat sampel aja gitu. Bukan berarti aku fans-nya OSD. Nemunya ini, sih. :D

Aku sebenernya kurang suka pakai baju adat kalo berlebihan. kalo sederhana aja sih oke. Bapak keturunan Jogja, Ibu Keturunan Jawa Tengah, aku lahir dan besar di Lampung. Nggak adil, dong, kalo aku harus pake baju adat salah satunya. Apalagi adat jawa dengan aksen mirip riasan rambut sampe kening. Aneh. Aneh banget apalagi aku pake jilbab. Kalo pake baju adat Lampung, sumpah itu siger di kepala berat banget. Bakal sakit kepala, deh. Jadi pake baju yang normal aja, deh. Baju pesta juga udah cukup. Yang penting nggak pake baju maen ato pake blazer. Nggak pas banget, kaaan...

Untuk baju, kayaknya mending nyewa, deh. Alasannya selain ngirit,  itu nggak bakalan kepake lagi. Jadi daripada nyampah dan buang uang, mending nyewa aja dengan catatan udah fitting jauh-jauh hari. 


Acara
Untuk menghemat waktu, tenaga, dan uang, aku pengennya acara pagi itu akad nikah, dilanjut siang resepsi. Mengenai undangan juga diusahakan jangan ada diskriminasi. Misalnya temen-temen yang itu diundang dari pagi, temen yang lain cuma suruh dateng sorenya. Padahal sama-sama temen sekelas, misalnya. Enggak adil itu. Mending bareng-bareng, deh. Atau kalo mau misalnya undangan orang tua pagi jelang siang, nanti istirahat sholat dan makan siang baru deh abis itu undanganku dateng. Jadi tetep akrab suasananya karena nggak ada yang ngerasa mati gaya. Ini penting banget dipikirin karena semua orang pasti capek dan mungkin juga stress. Jadi kembali ke niat awal lagi, menikah untuk beribadah. Dan resepsi untuk silaturahmi dan berbagi kebahagiaan. Bukan untuk hore-hore tujuh hari tujuh malam.

Aku pengennya diiringi dengan musik-musik pilihan kami juga instrumental. Biar syahdu gitu. Kalo sempet juga bikin video perjalanan hidup kedua mempelai. Salah satu lagu backsoundnya dari The Weepies, Somebody Loved. Jadi di situlah para tamu jadi kenal dengan pengantin yang dipajang di depan. Sekalian di situ bisa disisipkan harapan, ucapan terimakasih dan maaf kepada orang tua. Pasti jadi sakral banget, tuh. Tapi kalo dikonsep seenak mungkin sih bisa aja jadi mencairkan suasana.

Hiburan
No biduanita, no dangdut. But, dangdut is the music of our country! Silakan dangdutan aja sendiri di rumah atau di Inul Vista. Di rumah gue nggak boleh ada dangdut. Apalagi yang nyanyi biduan bohay dengan baju seronok ditambah goyangan aduhai. Hey, ini perayaan sakral sekali dalam hidupku, masak harus dinodai dengan syahwat yang diumbar-umbar macam itu, sih. Sungguh teganya dirimu teganya...teganya...teganyaaaaaa...!


Tapi kalo ada yang mau nyumbangin alat musik sekalian sama pemainnya boleh banget. Asalkan lagu yang akan dimainkan harus kita bicarakan bareng-bareng. Ya itu tadi tujuannya, kembali kepada makna dari pernikahan yang buat ibadah. Bukan cuma hore-hore. Terus kalo ada tamu yang mau nyanyi boleh banget, asal nggak goyang dangdut aja. Ada tuh sobatku si Ikkeuchi yang udah nyiapin lagu satu album buat resepsi pernikahan aku dari jaman kita kuliah semester tujuh. Haha...

Souvenirs
Oh, ya, biar berkesan, sebenernya aku pengen ada photo booth. Foto bisa sekalian jadi sovenir para tamu. Jadi nggak usah lagi nyiapin sovenir. Hemat juga, kaaannn?!
Sumber: http://www.photoboothjakarta.co.id
Kalo nggak gitu, aku ingin ngasih sovenir yang berguna dan lagi-lagi enggak nyampah. Misalnya benih tanaman, notes, kaktus dalam pot, atau terarium. Kalo sovenir kayak gantungan kunci seribuan itu nggak guna. Bentar juga putus. Apalagi yang cuma ngasih something aneh dan nggak terpakai. Nggak akan dikenang oleh tamu, nyampah mah iya. Uang tetep keluar nggak sedikit. Kalo misalnya budget nggak mencukupi, kupikir aku nggak akan ngasih sovenir, deh.


Sumber: https://hidrogell.wordpress.com

Sumber: http://adjiekaktus2.blogspot.com



Seperti dikutip dari Femina.co.id, meski kesannya sarat konflik,  keinginan untuk bisa mewujudkan pesta pernikahan impian bukanlah hal yang mustahil kok. Lagi-lagi, ini hanyalah masalah bagaimana Anda mengomunikasikan apa yang menjadi keinginan Anda kepada orang tua. “Ini adalah pernikahan Anda. Jadi, pastikan Anda lebih asertif,” tegas Psikolog Rosalina Verauli.

Sikap asertif ini meliputi keberanian untuk mengungkapkan apa yang menjadi hak dan kebenaran bagi Anda, tentang apa yang benar-benar Anda inginkan. Ketika Anda bisa melakukannya, maka beban emosional yang sebelumnya mengimpit, akan terangkat. Kelegaan ini akan membuat langkah-langkah berikutnya menjadi lebih mudah. Sebab, Anda tidak lagi dikuasai emosi.


Jadi, sah-sah aja kalo aku punya rencana atas pernikahanku. Yang penting kelak aku mengomunikasikan dengan orang-orang terkait dan menyadarkan mereka, sebenarnya ini pernikahan siapa dan untuk apa. Agar rencana dan persiapannya nggak merembet kemana-mana.

Pernikahan, kan, bukan cuma mewujudkan keinginanku semata. Tapi lebih dari itu adalah penyatuan dua keluarga besar yang pasti 'sangat berbeda'. Yang paling penting semuanya berjalan lancar dan komunikasi yang baik selalu terjaga sehingga tercipta rumah tangga yang harmonis, damai, sejahtera, dan makmur. Keakraban antar keluarga juga terjaga dengan baik. Udah gitu aja.


"I'd imagine my wedding as a fairy tale... huge, beautiful and white." Paris Hilton

8 comments

  1. mateng juga rencana nikahnya,keren

    ReplyDelete
    Replies
    1. Doakan biar niat mulianya berjalan dengan baik sesegera mungkin, yaaa... terimakasih sudah berkunjung ke rumahku :)

      Delete
  2. Nah ini yg namanya ihtiar dulu baru tawakal, kl blm ikhtiar dh ttawakal kn lucu,
    Calon ada, rencana beres, kl sdh d sepakati yaaa sok atuh, d tunggu undangannya y, ˋ 3ˊ

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aw...aw...awwww... tawakal duluan mah artinya pasrah. Cemen banget! Doakan biar niat mulianya berjalan dengan baik sesegera mungkin, yaaa... terimakasih sudah berkunjung ke rumahku ya Didi. Dianntikan kunjungan berikutnya dan berikutnya lagi :)

      Delete
  3. Satu album? Berarti aku harus buat konser tunggal dipernikahanmu... xixixi... Asal jangan kosidahan ajj pemain musiknya... :p
    Ide souvenirnya photo booth??? weew good idea, tapi kapan nikahnya kamu rinda han?? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu masalahnya... kapaannn? Hahahaha... menanti itu menyakitkan, ya... :D

      Katanya dua album, gimana, sih?

      Delete
  4. Wih..mantap jeng!
    Aku dulu mana kepikiran. Sing penting sah. Wis..haha..beda orientasi sih..wkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhuhuuuu... itu impianku dari S1 dan harus diperjuangkan... mohon doa dan dukungannya, ya. Gimana, bersedia jadi sponsor, nggak Mbak?

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<